Rabu, 29 Mei 2013

first semester = unforgetable

AKHIR DERITA INI

Hari ini, di depan makam itu aku berlutut. Tubuhku bergetar. Tak mampu aku menahan tangisku. Air mata yang telah kubendung sedari tadi,sekarang telah meluncur babas sesuka hati tanpa kumampu untuk meredamnya. Tak ada sentuhan lembut yang mengusap bahuku. Tak ada kain tuk menyeka air mata ini. Tak ada kata yang memintaku untuk tabah menerima kenyataan pahit ini. Hanya aku sendiri disini. Meringkuk menerima nasib tanpa ada tempat pengaduan keluh kesah yang kini kurasa. Aku memang membiarkan diriku sendiri di makam ayahku setelah orang-orang pergi pulang ke rumah mereka masing-masing. Sedari awal pemakaman, aku berusaha setegar mungkin untuk tidak menitikan setetes air matapun. Aku tak mau orang-orang tahu tentang beratnya bebanku setelah ayah pergi. Sudah cukup bagiku semua penderitaan ini. Aku tak ingin ditambah dengan rasa kasihan dan cemooh dari orang yang melihatku kini. Aku benci melihat tatapan dan sorot mata mereka padaku. Tatapan penuh kemunafikan yang sengaja dibuat iba ke arahku. Karena aku adalah anak sulung Bapak Budi Utomo yang kini telah jatuh miskin dan meniggal dunia. Aku benci mereka semua! Setelah kurasa cukup, aku bangkit dan berjalan menjauhi makam itu. Kini,di dalam benakku terlintas pikiran akan beban yang harus kulalui sebentar lagi. Beban tentang semua tagihan yang ayah tinggalkan padaku karena kepergiaanya. Aku memiliki adik yang telah dirawat di rumah sakit selama sebulan karena penyakit komplikasi pada alat-alat vital pencernaannya dan juga karena ia menderita leukemia. Penyakit itu didapatnya dari ibuku. Selama ayah hidup, ayah hanya mampu membayar semua tagihan sebagian kecilnya saja. Yang lainnya, kini harus menjadi tanggunganku. Padahal umurku baru memasuki 16 tahun awal bulan depan. Dengan langkah lunglai, aku berjalan menyusuri setiap langkah yang kutapaki. Dengan tatapan kosong, aku berusaha menegakkan kepalaku yang sedari tadi kutundukkan. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada adikku tentang kematian ayahku bila aku bertemu dengannya nanti. Bukan maksudku untuk berbohong dengannya,tapi aku tak mau kabar ini membuat kesehatannya lebih menurun lagi. Tak terasa, akhirnya aku sampai di rumah yang tak pantas untuk disebut rumah dari bentuknya. Kubuka pintu secara perlahan, tanpa ada semangat sedikit pun. Kulihat sesosok yang kukenal terbaring lunglai di atas selembar kain di atas tanah dan dengan beberapa lembar kain yang digulung-gulung seolah-olah bagai bantal untuknya. Ya, memang semua perabotan yang dulu pernah mengisi rumah ini sudah habis terjual untuk menutupi hutang kami yang juga tak tertutupi. “Kak…”, sapanya dengan lirih. “Rio kenapa bisa disini?” tanyaku cemas “apa yang terjadi dek?” “Dokter menyuruh Rio pulang kak. Katanya, Rio sudah tak pantas lagi disana dengan hutang yang telah Rio buat.” Ia mencoba tersenyum padaku demi menenangkan hatiku. Cepat-cepat kuputar wajahku, diam-diam aku menyeka air mata yang meniti di sudut mataku. “Kak, kakak gak perlu sedih dengan keadaan Rio. Rio kuat kak. Rio janji gak bakal ngerepotin kakak disini,ya?” Kupeluk Rio dengan erat seolah tak mau kehilangan dirinya. Terasa padaku kalau bobot tubuhnya semakin menyusut. “Kak,ayah mana?” tanyanya tiba-tiba. Aku berdusta,”ayah sedang bekerja untuk bayar hutang kita dan untuk kehidupan kita,dek” “Ooohhh..” katanya polos. “Rio lapar?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “Iya kak..” “Baiklah, kakak pergi dulu ya beli makan kita!” Iya menjawab dengan anggukan,mungkin tenaganya sudah terkuras habis. Setelah berada di depan pintu,aku memeriksa kantongku. Hanya ada selembar uang lima ribu rupiah. Apa yang harus aku perbuat dengan uang ini,bagaimana juga dengan besok?? Aku berjalan tanpa arah dan akhirnya terhenti di depan sebuah apotek. Entah apa yang kupikirkan saat itu, tapi dengan tanggap, segera aku masuk ke dalamnya. “Mau beli apa mbak?” tanya salah satu penjaga toko itu. “Heh?” aku tersentak ”saya ingin membeli dextermione 100 mg 5 butir.” “Baik, akan saya ambilkan” Tak lama kemudian ia datang bersama pesananku. Kuberi uangku,setelah itu aku lansung bergegas pergi. Dextermione 100 mg adalah obat berdosis tinggi yang apabila dimunum beberapa butir dalam satu tegak dapat menyebabkan overdosis yang dapat menimbulkan kematian dalam seketika. Entah setan apa yang merasukiku, tapi tekadku sudah bulat. Hanya ini jalan satu-satunya yang dapat membuat kami keluar dari masalah yang kurasa tak tahu entah sampai kapan akan terselesaikan. Kulangkahkan kaki dengan langkah seribu menuju rumah. Setelah sampai di rumah langsung kutemui adikku. “Dik, ini kamu minum dulu ya.Ini obat penahan lapar,kakak sedang tak punya uang jadi kita tunggu saja sampai ayah pulang baru kita makan,ya?” Iya hanya mengangguk. Segera ia minum obat itu. Ada dua pendapat yang berbeda sedang bergejolak di dalam hatiku saat itu juga. Tapi, inilah keputusanku. Ini semua kulakukan demi kebaikan kami berdua. Maafkan aku tuhan…. Seketika setelah ia menegak obat itu. Ia kejang-kejang. Aku menangis. Aku menyakiti adikku. Banyak buih keluar dari mulutnya diirigi dengan darahnya. Aku sempat melihatnya menitikan air mata sebelum akhirnya ia tak bernyawa lagi. Aku menangis di depan mayatnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku meminum obat itu juga. Sakit yang kurasakan di sekujur tubuhku tak tertahankan. Aku berteriak. Hal yang sama juga terjadi padaku. Kejang-kejang, berbuih, keluar darah dan akhirnya aku tak sadarkan diri. Aku melayang tinggi melewati batas yang dulu tak pernah kuketahui. Aku semakin melambung tinngi menjauh dari permukaaan bumi. Setelah cukup jauh, akhirnya aku menatap ke atas. Adikku ada di sana. Dia melambai kepadaku. Di sampingnya kulihat ayah dan ibuku juga sedang menungguku. Mereka semua tersenyum kearahku. Aku kini bersama mereka di dunia kebahagiaan yang tak berbatas. Tak kan ada lagi kesusahan dan kepedihan yang sedari dulu aku rasakan.. Aku bahagia.. (OLEH: CLAUDIA VANESSA)

my lovely nephew